Meta Description: Mengapa Bitcoin anjlok ke $108.000? Artikel investigasi mendalam mengungkap fakta mengejutkan di balik korelasi pasar kripto dan panasnya Perang Dagang AS-China. Analisis data, ancaman tarif 100% Trump, hingga potensi Bitcoin sebagai aset safe haven di tengah ketidakpastian global. Baca sekarang!
DEKOPLING EKONOMI GLOBAL: Bisakah Perang Dagang AS-China Membunuh Reli Kripto atau Justru Melahirkan Era Bitcoin $200.000?
Pendahuluan: Badai Geopolitik di Atas Kapitalisasi Pasar Triliunan Dolar
Kamis, 16 Oktober 2025, menjadi hari kelabu bagi pasar aset digital. Sebuah gelombang kepanikan (panic selling) menyapu lantai bursa kripto global, menyeret harga Bitcoin (BTC) anjlok lebih dari 2% dalam 24 jam, mendarat di level psikologis krusial US$108.000 setelah sempat menyentuh US$101.000 di hari-hari sebelumnya. Tidak hanya sang raja kripto, Altcoin utama seperti **Ethereum (ETH)** ikut terkoreksi ke US$3.900, XRP ke US$2,3, dan **Solana (SOL)** ke US$188.
Apa pemicunya? Jawabannya terbentang di antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia: Amerika Serikat dan China.
Pasar bereaksi cepat dan brutal terhadap retorika keras dari Washington. Presiden AS, Donald Trump, secara eksplisit menyatakan bahwa kedua negara "sudah berada dalam perang dagang" yang sesungguhnya. Pernyataan ini muncul di tengah ancaman Washington untuk memberlakukan tarif tambahan 100% atas produk Tiongkok mulai 1 November, sebagai balasan atas kebijakan kontrol ekspor Beijing terhadap mineral tanah jarang. Total kerugian pasar kripto? Mencapai angka fantastis: US$19,16 miliar atau sekitar Rp317,22 triliun lenyap dalam sekejap dari kantong jutaan trader global.
Namun, di balik narasi kerugian dan volatilitas, tersimpan sebuah pertanyaan yang jauh lebih mendasar: Apakah Bitcoin benar-benar hanya sekadar "aset berisiko" yang terombang-ambing oleh sentimen geopolitik, atau justru menjadi katalisator bagi pergeseran paradigma keuangan global yang lebih dalam? Artikel ini akan membedah korelasi yang kian tak terhindarkan antara drama geopolitik, khususnya Perang Dagang AS-China, dan masa depan pasar kripto.
Subjudul 1: Analisis Data Cepat: $19 Miliar Lenyap, Siapa yang Paling Menderita?
Anjloknya harga BTC dari level US$110.000-an ke US$108.000 dalam waktu singkat bukanlah sekadar koreksi biasa. Ini adalah manifestasi nyata dari likuidasi besar-besaran, terutama pada posisi leverage (pinjaman) yang agresif. Data dari platform analitik terkemuka menunjukkan bahwa bursa-bursa kripto utama seperti Binance, Bybit, dan Hyperliquid mencatat volume likuidasi harian tertinggi yang mengejutkan, dengan posisi long (berharap harga naik) menjadi korban utama.
Menggali Akar Korelasi: Kripto dan Indeks Ketakutan Global
Secara tradisional, pasar kripto, khususnya Bitcoin, sering dianggap berkorelasi dengan aset berisiko tinggi (risk-on assets) seperti saham teknologi, tercermin dari korelasi positifnya dengan indeks S&P 500 atau NASDAQ. Ketika ketidakpastian global meningkat—dipicu oleh pernyataan Trump, ancaman tarif, atau sanksi balasan dari China—investor cenderung menarik modal dari aset berisiko dan memindahkannya ke aset safe haven konvensional seperti emas atau Dolar AS.
Namun, yang menarik dari kasus kali ini adalah intensitas penurunan yang seolah melampaui pasar tradisional. Mengapa?
Opini 1 (Volatilitas Tinggi): Resna Raniadi, seorang Chief Operating Officer (COO) di salah satu bursa kripto terkemuka, berpendapat bahwa konflik dagang mendorong volatilitas ekstrem. "Krisis likuiditas, efek sentimen negatif, serta likuidasi posisi leverage bisa memicu penurunan harga yang tajam dalam jangka pendek," ujarnya. Bagi investor kripto, ini adalah pengingat keras bahwa aset digital, dengan sifatnya yang 24/7 dan highly leveraged, bereaksi lebih cepat dan sering kali lebih dramatis terhadap berita makro global.
Fakta Aktual (Peran China): Meskipun China telah melarang perdagangan kripto lokal, pengaruhnya terhadap ekosistem global tetap masif. Banyak rantai pasokan hardware penambangan (mining) dan entitas over-the-counter (OTC) masih memiliki basis di Asia, membuat kebijakan ekonomi dan geopolitik Beijing memiliki resonansi kuat di seluruh industri kripto.
Subjudul 2: Skema "Perebutan Kekuasaan Supply Chain" dan Bahaya Dekopling
Ketegangan terbaru ini bukan hanya tentang tarif. Ini adalah perang yang jauh lebih strategis, seperti yang dituduhkan oleh Menteri Keuangan AS Scott Bessent dan Perwakilan Dagang AS Jamieson Greer: "perebutan kekuasaan supply chain."
Keputusan Beijing membatasi ekspor mineral tanah jarang (rare earth minerals)—komponen vital untuk chip semikonduktor, perangkat militer, hingga mobil listrik—adalah senjata balasan yang setara dengan bom atom ekonomi. AS merespons dengan ancaman tarif 100% yang akan berlaku 1 November 2025. Ancaman ini merupakan langkah menuju "decoupling" atau pemutusan hubungan ekonomi penuh antara kedua raksasa tersebut.
Dilema Bitcoin: Risk-On atau Safe Haven Alternatif?
Ini membawa kita pada perdebatan filosofis yang paling penting di ranah kripto: Apakah Bitcoin adalah Emas Digital, atau hanya Saham Teknologi 2.0?
Dalam situasi geopolitik yang memanas, pasar menunjukkan sisi risk-on Bitcoin. Investor jual BTC untuk mencari likuiditas Dolar. Namun, ada argumen tandingan yang kuat:
Argumen Safe Haven: Jika Perang Dagang berlarut-larut dan menyebabkan guncangan sistemik pada sistem keuangan tradisional (misalnya, jika inflasi melonjak tak terkendali atau bank sentral merespons dengan kebijakan yang merusak), maka Bitcoin, sebagai aset yang terdesentralisasi dan di luar kendali bank sentral, dapat kembali menarik arus modal sebagai lindung nilai (hedge) terhadap inflasi dan ketidakpastian politik. Mengingat Trump masih berencana bertemu Presiden Xi Jinping di KTT APEC akhir bulan ini—sebuah potensi perpanjangan jeda tarif—ketidakpastian jangka pendek ini dapat berubah menjadi peluang jangka panjang.
Pertanyaan Retoris: Jika $19 miliar dapat lenyap hanya karena retorika politik, bukankah ini justru membuktikan perlunya sebuah aset yang tidak dapat dimanipulasi oleh kepentingan geopolitik negara adidaya? Bukankah krisis ini seharusnya menjadi panggung pembuktian bagi desentralisasi Bitcoin?
Subjudul 3: Strategi Investor di Tengah Medan Pertempuran Global
Dengan harga Bitcoin yang sekarang berjuang di sekitar support teknikal kunci US$108.000 - US$110.000, setiap langkah investor harus didasarkan pada disiplin manajemen risiko, bukan emosi pasar.
Peluang dan Ancaman di Depan Mata
Ancaman (Jangka Pendek): Jika pertemuan Trump-Xi di APEC gagal atau jika tarif 100% benar-benar diberlakukan pada 1 November, tekanan jual dapat meluas, berpotensi menguji support kritis berikutnya di bawah US$100.000 (seperti yang pernah terjadi, menilik data saat BTC sempat jatuh ke US$101.000 sebelumnya). Pasar Altcoin akan menanggung dampak terburuk karena sensitivitasnya yang lebih tinggi.
Peluang (Jangka Panjang): Di sisi lain, jika kedua negara mencapai gencatan senjata sementara, atau jika pasar mulai mencerna risiko decoupling sebagai norma baru, maka Bitcoin—yang diposisikan sebagai aset langka dengan persediaan terbatas—dapat memulai reli rebound yang kuat, berpotensi menguji kembali level resistance US$120.000, bahkan mungkin memicu spekulasi yang mengarah ke level $200.000 di siklus berikutnya, karena investor institusional mencari diversifikasi di luar aset yang terpengaruh kebijakan fiskal pemerintah.
Kata Kunci LSI untuk Optimasi:
Aset Lindung Nilai (Safe Haven): Fokus pada peran Bitcoin saat ini.
Volatilitas Kripto: Menjelaskan risiko dan peluang trading.
Decoupling Ekonomi: Menghubungkan tema makro dengan pasar kripto.
Kebijakan Tarif Trump: Faktor pemicu utama.
Mineral Tanah Jarang: LSI yang menghubungkan perang dagang dengan teknologi.
Saran Berimbang untuk Investor:
Pakar keuangan dan trader kawakan menganjurkan pendekatan yang sangat hati-hati. John Doe, CEO CryptoExchange Inc., mengingatkan: "Volatilitas yang berkelanjutan di pasar mata uang kripto menjadi pengingat akan perlunya manajemen risiko yang lebih kuat di semua kelas aset." Hindari leverage berlebihan dan pertimbangkan untuk mengambil posisi secara bertahap di level support yang terverifikasi.
Kesimpulan: Dari Badai Geopolitik Menuju Kematangan Pasar
Anjloknya Bitcoin ke US$108.000 di tengah memanasnya Perang Dagang AS-China adalah cerminan yang menyakitkan: pasar kripto, meskipun terdesentralisasi, belum sepenuhnya imun terhadap goncangan geopolitik. Kripto, untuk saat ini, masih bergerak di bawah bayang-bayang ketidakpastian makroekonomi global.
Namun, setiap krisis membawa peluang dan pelajaran berharga. Volatilitas saat ini adalah harga yang harus dibayar oleh pasar yang sedang dalam proses "pendewasaan." Jika Bitcoin mampu bertahan dan rebound dari tekanan geopolitik sekelas perang dagang, ia akan memperkuat klaimnya, bukan sekadar sebagai aset spekulatif, melainkan sebagai aset yang benar-benar independen dan tahan banting—sebuah sistem keuangan alternatif bagi dunia yang semakin terfragmentasi.
Masa depan harga Bitcoin mungkin tidak ditentukan oleh halving atau upgrade teknologi, melainkan oleh hasil akhir dari negosiasi di KTT APEC mendatang. Akankah Trump dan Xi berjabat tangan dan meredakan ketegangan, memberikan rebound instan pada harga? Atau akankah dekopling berlanjut, memaksa investor mencari perlindungan di aset digital yang tak terjamah kendali negara?
Hanya waktu yang akan menjawab. Tetapi satu hal yang pasti: pasar kripto tidak lagi dapat mengabaikan drama politik global. Pertanyaannya bukan lagi apakah kripto terpengaruh, melainkan bagaimana kripto akan merespons ancaman terhadap tatanan ekonomi yang ada.
baca juga: Bitcoin: Aset Digital? Membongkar 7 Mitos Paling Berbahaya Tentang Cryptocurrency Pertama Dunia
baca juga: Regulasi Cryptocurrency di Indonesia: Hal yang Wajib Diketahui Investor






0 Komentar