Meta Description:
Suku bunga The Fed turun, tapi harga Bitcoin justru stagnan—bahkan turun. Apa yang salah? Simak analisis mendalam tentang paradoks pasar kripto di tengah kebijakan moneter dan ketegangan geopolitik global.
Suku Bunga The Fed Turun, Kenapa Bitcoin di Situ-Situ Aja?
Tanggal: 30 Oktober 2025
Kamis, 30 Oktober 2025, menjadi hari yang penuh gejolak di pasar keuangan global. The Federal Reserve (The Fed) resmi mengumumkan pemangkasan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin—langkah yang selama ini dianggap sebagai “sinyal hijau” bagi aset berisiko seperti saham dan kripto. Namun, alih-alih melonjak, harga Bitcoin (BTC) justru terpantau turun tipis, bertahan di kisaran $68.000–$69.000.
Pertanyaannya: jika suku bunga turun, kenapa Bitcoin tidak ikut naik seperti biasanya?
Apakah narasi “Bitcoin sebagai pelindung inflasi” mulai retak? Atau justru ada kekuatan lain yang lebih dominan menggerakkan pasar kripto hari ini?
Paradoks Pasar: Ketika Stimulus Moneter Tak Lagi Jadi Jaminan
Secara historis, pemangkasan suku bunga The Fed memang kerap diikuti oleh kenaikan harga aset berisiko. Logikanya sederhana: uang murah berarti likuiditas tinggi, dan investor mencari imbal hasil di luar instrumen tradisional. Bitcoin, sebagai aset digital yang langka dan terdesentralisasi, sering dianggap sebagai “emas digital” dalam skenario ini.
Namun, kali ini, logika itu tampaknya gagal berlaku.
Data dari TradingView dan Glassnode menunjukkan bahwa sejak pengumuman The Fed, BTC justru mengalami tekanan jual. Bahkan, dalam sebulan terakhir, long-term holders (LTH)—investor yang biasanya memegang BTC selama lebih dari 155 hari—telah melepas sekitar 325.600 BTC, setara dengan lebih dari $22 miliar berdasarkan harga saat ini.
Mengapa investor jangka panjang tiba-tiba melepas aset mereka tepat saat suku bunga turun?
Geopolitik Mengalahkan Kebijakan Moneter
Salah satu faktor utama yang mengaburkan efek positif pemangkasan suku bunga adalah ketegangan geopolitik yang memuncak antara Amerika Serikat dan China.
Hari ini, Presiden Donald Trump bertemu dengan Presiden Xi Jinping di Seoul, Korea Selatan, dalam upaya meredakan eskalasi perang dagang dan teknologi. Namun, hingga berita ini diturunkan, belum ada keputusan konkret mengenai tarif impor, pembatasan chip, atau regulasi AI yang menjadi akar konflik.
Ketidakpastian ini menciptakan risk-off sentiment di kalangan investor global. Mereka lebih memilih menyimpan uang dalam aset safe haven seperti emas atau dolar AS—bukan kripto yang volatilitasnya masih tinggi.
“Pasar tidak lagi bereaksi hanya pada data ekonomi makro,” kata Dr. Lena Hartono, ekonom pasar keuangan dari Universitas Nasional Singapura. “Geopolitik kini menjadi variabel dominan. Dan dalam ketidakpastian ekstrem, bahkan Bitcoin pun kehilangan daya tariknya sebagai hedge.”
Siklus Pasar Bitcoin: Puncak Telah Lewat?
Analisis on-chain dari CryptoQuant mengungkap pola menarik: arus keluar dari dompet LTH mencapai level tertinggi sejak Desember 2024—tepat setelah BTC mencatat rekor sepanjang masa di atas $73.000.
Ini mengindikasikan bahwa banyak pemegang lama mengambil profit setelah rally besar. Mereka tidak menunggu stimulus moneter, melainkan merespons sinyal teknis dan psikologis pasar.
“Ketika harga menyentuh ATH (all-time high), selalu ada tekanan jual dari whales dan LTH,” jelas Raka Pratama, analis kripto dari IndoCrypto Research. “Suku bunga turun memang positif jangka panjang, tapi jangka pendek, psikologi pasar lebih kuat.”
Fenomena ini juga didukung oleh indikator MVRV Z-Score yang menunjukkan BTC sempat overvalued pada awal Oktober. Artinya, koreksi wajar terjadi—terlepas dari kebijakan The Fed.
Regulasi Global: Bayang-Bayang yang Tak Kunjung Pergi
Selain geopolitik dan psikologi pasar, ketidakjelasan regulasi juga menjadi penghambat utama adopsi institusional Bitcoin.
Di AS, meski SEC akhirnya menyetujui ETF spot Bitcoin pada 2024, debat soal klasifikasi aset kripto—apakah sebagai komoditas atau sekuritas—masih berlangsung. Di Eropa, MiCA (Markets in Crypto-Assets Regulation) mulai diterapkan, tetapi banyak bursa masih berjuang memenuhi standar kepatuhan.
Sementara di Asia, China tetap melarang transaksi kripto, dan India mempertimbangkan pajak tambahan. Dalam lingkungan seperti ini, investor institusional enggan mengalokasikan modal besar ke BTC meski suku bunga rendah.
Bitcoin vs Emas: Siapa yang Lebih Tangguh Saat Krisis?
Menariknya, saat BTC stagnan, harga emas justru mencetak rekor baru di atas $2.200 per ons. Ini memicu perdebatan ulang: apakah Bitcoin benar-benar bisa menggantikan emas sebagai aset lindung nilai?
Data dari World Gold Council menunjukkan aliran dana ke ETF emas meningkat 18% sejak awal 2025. Sebaliknya, aliran ke ETF Bitcoin, meski positif, mulai melambat dalam dua minggu terakhir.
“Emas punya sejarah 5.000 tahun sebagai penyimpan nilai. Bitcoin baru 16 tahun,” ujar Prof. Michael Tan, pakar keuangan dari London School of Economics. “Dalam krisis nyata—bukan sekadar koreksi pasar—manusia kembali ke apa yang mereka percaya selama berabad-abad.”
Pertanyaannya: apakah kita sedang menyaksikan batas nyata dari narasi ‘digital gold’?
Prediksi ke Depan: Jangan Remehkan Efek Jangka Panjang
Meski saat ini Bitcoin terlihat “tidak peduli” pada kebijakan The Fed, banyak analis meyakini bahwa dampak pemangkasan suku bunga akan terasa dalam 3–6 bulan ke depan.
Likuiditas yang meningkat perlahan-lahan akan mengalir ke aset alternatif. Apalagi, dengan potensi pelonggaran kuantitatif (quantitative easing) lanjutan jika inflasi AS terus melambat.
Selain itu, adopsi institusional tetap tumbuh. BlackRock, Fidelity, dan bahkan bank sentral negara berkembang mulai mengeksplorasi alokasi cadangan dalam bentuk BTC.
“Jangan salah tafsirkan koreksi jangka pendek sebagai kegagalan fundamental,” kata Sarah Lim, kepala strategi di Ark Invest Asia. “Bitcoin sedang mengalami fase konsolidasi—bukan kemunduran.”
Kesimpulan: Pasar Sedang Belajar, Bukan Menyerah
Suku bunga The Fed turun, tapi Bitcoin diam. Bukan karena aset ini kehilangan nilainya, melainkan karena pasar sedang menyesuaikan diri dengan realitas baru: di mana geopolitik, regulasi, dan psikologi kolektif sama pentingnya dengan data ekonomi.
Bitcoin bukan lagi aset pinggiran yang hanya bereaksi pada satu variabel. Ia kini bagian dari sistem keuangan global yang kompleks—dan kompleksitas itu berarti volatilitas, ketidakpastian, tapi juga peluang.
Jadi, sebelum menyimpulkan bahwa “Bitcoin mati” atau “narasi runtuh”, tanyakan pada diri sendiri:
Apakah Anda menilai aset ini berdasarkan satu hari—atau berdasarkan visi jangka panjangnya sebagai uang internet abad ke-21?
Disclaimer: Artikel ini bukan merupakan saran finansial. Pasar kripto sangat volatil. Lakukan riset Anda sendiri (Do Your Own Research/DYOR) sebelum mengambil keputusan investasi.
Keywords utama: suku bunga The Fed turun, harga Bitcoin turun, analisis Bitcoin 2025, geopolitik AS-China, long-term holders Bitcoin, Bitcoin vs emas, kebijakan moneter dan kripto
LSI Keywords: pemangkasan suku bunga, risk-off sentiment, ETF Bitcoin, regulasi kripto global, MVRV Z-Score, likuiditas pasar, safe haven asset
Bagikan pendapat Anda di kolom komentar: Apakah Anda masih percaya pada Bitcoin sebagai pelindung nilai di tengah ketegangan global?
baca juga: Bitcoin: Aset Digital? Membongkar 7 Mitos Paling Berbahaya Tentang Cryptocurrency Pertama Dunia
baca juga: Regulasi Cryptocurrency di Indonesia: Hal yang Wajib Diketahui Investor






0 Komentar