“Tiru Tether? Bank Indonesia Siap Rilis Stablecoin Berbasis SBN — Solusi Digital atau Ancaman Baru bagi Rupiah?”
Meta Description (160 karakter):
Bank Indonesia siapkan stablecoin berbasis SBN untuk memperkuat rupiah digital. Apakah ini langkah visioner atau risiko baru di era kripto?
Pendahuluan: Ketika Bank Sentral Meniru Dunia Kripto
Langkah mengejutkan datang dari Bank Indonesia (BI). Di tengah derasnya arus digitalisasi finansial, BI resmi mengumumkan rencana penerbitan stablecoin versi Indonesia, yang akan berbasis Surat Berharga Negara (SBN) sebagai jaminan utama.
Langkah ini segera mengundang sorotan publik. Bagaimana tidak? Stablecoin selama ini identik dengan ekosistem kripto yang kerap dipandang liar dan tak teratur. Ketika lembaga sekelas BI menyatakan niat “meniru cara Tether” — perusahaan penerbit stablecoin USDT terbesar di dunia — publik pun bertanya-tanya:
Apakah ini tanda bahwa Indonesia akhirnya mengakui kekuatan teknologi blockchain, atau justru bentuk kompromi antara regulasi dan revolusi digital?
Mengapa Bank Indonesia Ingin Punya Stablecoin Sendiri?
Gubernur BI, Perry Warjiyo, menjelaskan bahwa stablecoin nasional ini merupakan bagian dari strategi besar pengembangan Digital Rupiah.
“Kita akan keluarkan sekuritas Bank Indonesia dalam versi digital, digital rupiah dengan underlying SBN — versi stablecoin nasional Indonesia,” ujarnya dalam Festival Ekonomi Keuangan Digital Indonesia & Fintech Summit and Expo 2025 di Jakarta.
Secara teknis, stablecoin berbasis SBN berarti setiap token digital yang diterbitkan akan ditopang oleh aset riil berupa surat utang negara, bukan oleh cadangan dolar AS seperti Tether atau USDC.
Langkah ini memiliki dua makna strategis:
-
Menjaga Kedaulatan Finansial. Rupiah digital dengan jaminan SBN menegaskan kontrol penuh pemerintah atas mata uang digital nasional tanpa bergantung pada sistem keuangan global.
-
Mendorong Efisiensi Keuangan. Dengan mekanisme blockchain, transaksi bisa lebih cepat, murah, dan transparan, baik antar bank maupun lintas negara.
Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa stablecoin “made in Indonesia” bisa menjadi instrumen baru yang rawan disalahgunakan bila regulasinya tak disiapkan matang.
Apa Itu Stablecoin dan Mengapa Dunia Tergila-gila Padanya?
Stablecoin adalah aset kripto yang nilainya stabil, biasanya dipatok (pegged) terhadap aset tertentu seperti dolar AS, emas, atau obligasi pemerintah. Berbeda dengan Bitcoin atau Ethereum yang fluktuatif, stablecoin dirancang agar nilainya tetap 1:1 terhadap aset acuannya.
Contohnya:
-
USDT (Tether) → dipatok ke dolar AS dan digunakan luas untuk perdagangan kripto global.
-
USDC (Circle) → juga berbasis dolar AS, tetapi lebih transparan dengan audit rutin.
-
DAI (MakerDAO) → stablecoin terdesentralisasi berbasis smart contract.
Dengan perputaran transaksi stablecoin global mencapai lebih dari USD 150 miliar per hari, tak heran jika banyak negara mulai tertarik mengembangkan versi resminya.
Kini giliran Indonesia yang melangkah ke arena yang sama — namun dengan karakteristik unik: berbasis SBN, bukan dolar.
OJK dan BI: Sepakat Tapi Waspada
Tak hanya BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menaruh perhatian besar terhadap fenomena ini.
Menurut Dino Milano Siregar, Kepala Departemen Inovasi Teknologi Sektor Keuangan OJK, otoritas telah menetapkan sejumlah aturan penting:
-
Penerbit stablecoin wajib mematuhi prinsip anti pencucian uang (AML).
-
Harus melakukan pelaporan rutin dan audit transparan.
-
Tidak boleh digunakan sebagai alat pembayaran sah, karena hal itu tetap menjadi hak eksklusif rupiah fisik maupun digital resmi.
Namun Dino mengakui, stablecoin dengan aset dasar yang kredibel sudah mulai digunakan di Indonesia sebagai instrumen lindung nilai (hedging). Nilainya yang stabil membuatnya menarik bagi investor yang ingin menghindari volatilitas pasar kripto tradisional.
Pertanyaannya kini: mampukah stablecoin versi BI menjadi instrumen stabil tanpa kehilangan fleksibilitasnya?
Potensi Keuntungan: Modernisasi Sistem Keuangan Nasional
Jika dikelola dengan benar, stablecoin berbasis SBN bisa menjadi lompatan besar bagi ekonomi digital Indonesia. Beberapa manfaat yang bisa muncul antara lain:
-
Transaksi Lebih Efisien.
Dengan sistem blockchain, pengiriman dana antar lembaga bisa berlangsung real-time tanpa perantara. -
Meningkatkan Kepercayaan Investor.
Karena ditopang oleh SBN, setiap token memiliki jaminan legal dan aset riil yang dapat diverifikasi. -
Mendorong Literasi Digital Finansial.
Masyarakat akan lebih mengenal konsep aset digital, tanpa harus terjun ke dunia kripto yang tidak diatur. -
Mendukung Ekonomi Syariah.
Bila dirancang sesuai prinsip syariah, stablecoin ini bisa memperluas ekosistem keuangan halal berbasis digital.
Risiko yang Mengintai: Dari Keamanan hingga Kepercayaan Publik
Namun inovasi digital bukan tanpa bahaya. Ada sejumlah risiko yang harus diwaspadai:
1. Potensi Penyalahgunaan dan Kejahatan Siber
Transaksi digital rentan terhadap peretasan. Bila sistem BI tak memiliki pengamanan sekelas bank global, kebocoran data atau pencurian token bisa mengguncang kepercayaan publik.
2. Risiko Moral Hazard dan Manipulasi Data
Bagaimana publik bisa yakin bahwa setiap token benar-benar dijamin oleh SBN? Transparansi cadangan menjadi isu krusial.
3. Dampak terhadap Stabilitas Moneter
Jika stablecoin ini beredar luas di masyarakat tanpa kontrol ketat, bisa saja memengaruhi peredaran uang (money supply) dan mengganggu kebijakan moneter BI sendiri.
4. Ketergantungan pada Infrastruktur Digital Asing
Jika sistem blockchain yang digunakan masih bergantung pada teknologi luar negeri, maka isu kedaulatan data dan keamanan nasional menjadi taruhan besar.
Apakah BI siap menghadapi risiko sebesar ini?
Mengintip Tren Global: Dari Tether ke Yuan Digital
Langkah BI sebenarnya mengikuti tren global.
-
China sudah meluncurkan Yuan Digital (e-CNY) yang kini digunakan di berbagai kota besar.
-
Eropa sedang menguji Digital Euro.
-
Amerika Serikat masih berhati-hati dengan CBDC (Central Bank Digital Currency) karena kekhawatiran terhadap privasi dan kebebasan finansial warga.
Namun yang membuat Indonesia unik adalah pendekatan hybrid-nya — menggabungkan konsep stablecoin (seperti Tether) dengan prinsip keuangan negara (SBN).
Artinya, BI tidak sekadar meniru, tapi mencoba menciptakan model baru yang “lebih aman dan berdaulat”.
Reaksi Publik dan Dunia Kripto: Antara Antusias dan Skeptis
Di media sosial, reaksi warganet beragam.
Sebagian menilai langkah BI ini sebagai “revolusi digital yang ditunggu-tunggu”, sementara yang lain mencurigainya sebagai “cara halus pemerintah mengontrol uang rakyat dalam bentuk digital.”
Para pelaku industri kripto lokal pun terbelah:
-
Ada yang optimis bahwa kebijakan ini bisa membuka pintu bagi regulasi kripto yang lebih jelas.
-
Namun ada pula yang khawatir bahwa stablecoin nasional justru mematikan inovasi sektor swasta karena semua akan dimonopoli oleh bank sentral.
Pertanyaan pun muncul:
👉 Apakah stablecoin nasional ini akan bersaing atau justru berdampingan dengan aset kripto global seperti USDT dan USDC?
Menuju Masa Depan: Antara Inovasi dan Regulasi
Langkah BI ini adalah ujian besar bagi sistem keuangan Indonesia di era Web3.
Jika sukses, Indonesia bisa menjadi pelopor keuangan digital berbasis kedaulatan nasional di Asia Tenggara. Namun jika gagal, kepercayaan publik terhadap digital rupiah bisa runtuh sebelum sempat tumbuh.
Kuncinya ada pada transparansi, keamanan, dan edukasi publik.
Tanpa ketiganya, stablecoin versi SBN bisa menjadi proyek ambisius yang tak lebih dari simbol inovasi tanpa implementasi nyata.
Kesimpulan: Mimpi Rupiah Digital, Antara Harapan dan Kecemasan
Bank Indonesia sedang melangkah di garis tipis antara inovasi dan risiko.
Dengan meniru konsep Tether tapi berbasis SBN, BI mencoba membangun sistem yang stabil, berdaulat, dan modern.
Namun publik berhak bertanya:
Apakah stablecoin ini akan menjadi tonggak sejarah baru bagi rupiah digital, atau justru membuka babak baru dari ketergantungan finansial berbasis teknologi yang belum sepenuhnya kita kuasai?
Yang jelas, masa depan uang bukan lagi sekadar kertas dan logam — ia kini hidup di blockchain, dan Indonesia tampaknya siap menjadi bagian dari perubahan itu.
baca juga: Bitcoin: Aset Digital? Membongkar 7 Mitos Paling Berbahaya Tentang Cryptocurrency Pertama Dunia
baca juga: Regulasi Cryptocurrency di Indonesia: Hal yang Wajib Diketahui Investor






0 Komentar