Meta Description: Eksplorasi mendalam mengapa Bitcoin terjun bebas ke US$110.000 di tengah eskalasi perang dagang AS-China. Artikel ini mengungkap korelasi berbahaya antara geopolitik, pasar tradisional, dan aset kripto, serta mempertanyakan narasi 'safe haven' digital. Simak analisis lengkapnya.
China Balas Dendam, Bitcoin Tumbang: Kematangan Aset Digital atau Bukti Rapuhnya Fondasi?
JAKARTA - Dalam sebuah kejutan yang seharusnya tidak mengejutkan, pasar kripto kembali berdarah-darah. Bitcoin (BTC), sang "raja aset digital," tercatat kembali merosot ke level US$110.000 pada Selasa (14/10), menghapus semua keuntungan yang sempat diraih awal pekan. Pemicunya? Sebuah headline yang terasa sangat analog dan klasik: perang dagang.
China, dengan presisi yang mematikan, telah membalas ancaman tarif impor baru dari pemerintahan Presiden AS Donald Trump. Bukan hanya dengan tarif timbal balik, tetapi dengan senjata yang lebih tajam: pembatasan terhadap lima perusahaan AS yang terkait dengan galangan kapal raksasa Korea Selatan. Ancaman lebih lanjut masih menggantung di udara. Reaksi pasar pun serempak dan brutal: jual! Jual segala sesuatu yang berbau risiko.
Lalu, di manakah posisi Bitcoin? Aset yang digadang-gadang sebagai "emas digital" dan "lindung nilai" di tengah gejolak itu justru terjungkal lebih dalam, mengekor pada jatuhnya indeks saham AS seperti S&P 500 dan Nasdaq 100. Penurunan ini bukan hanya tentang angka; ini adalah pukulan telak bagi narasi besar yang membungkus kripto selama bertahun-tahun. Jika Bitcoin benar-benar merupakan penyelamat dari badai ekonomi tradisional, mengapa ia justru tenggelam dalam badai yang sama?
Pasar Berdarah: Lebih Dari Sekadar Koreksi Teknis
Kerusakan yang terlihat di layar trading pagi ini sungguh parah. Ini bukan hanya masalah Bitcoin yang kehilangan US$5.000 dari puncaknya seminggu lalu. Ini adalah karnaval penjualan yang melanda hampir seluruh aset digital.
Ethereum (ETH), mesin utama smart contract dan DeFi, ambles lebih dari 5% ke level US$3.900. XRP, yang sering bergerak dengan dinamikanya sendiri, tercatat minus 6,70% menjadi US$2,4. Solana (SOL), yang baru-baru ini dipuji karena ketangguhannya, tergelincir tipis 1% ke US$194. Yang paling menyakitkan mungkin adalah BNB, yang baru saja mencapai rekor tertinggi baru US$1.370 pada Senin (13/10), kini terkapar dengan penurunan lebih dari 10% ke US$1.160.
Di balik layar, data dari futures dan options market menunjukkan gelombang likuidasi posisi leveraged yang masif. Ratusan juta dolar posisi long (taruhan naik) dipaksa ditutup oleh para exchange, memperburuk tekanan jual. "Ini adalah pembersihan leverage klasik yang dipicu oleh sentimen makro," ujar seorang analis dari firma riset kripto Arcane Research. "Ketika ketakutan akan resesi dan perang dagang muncul, para trader institusional adalah yang pertama keluar, dan mereka menjual aset yang paling likuid terlebih dahulu, yaitu Bitcoin dan Ethereum."
Pertanyaannya retoris: Bukankah seharusnya pada momen ketakutan seperti inilah uang mengalir ke dalam Bitcoin, bukan keluar darinya?
Ilusi 'Safe Haven': Kripto Masih Jadi Aset Risiko, Bukan Pelindung
Di sinilah narasi utama dipertaruhkan. Sejak 2020, komunitas kripto telah membangun citra Bitcoin sebagai penyimpan nilai yang setara, bahkan lebih unggul, daripada emas. Teorinya sederhana: pasokan Bitcoin terbatas (hanya 21 juta koin), tidak terpengaruh oleh cetak uang (quantitative easing) bank sentral, dan dapat dipindahkan melintasi batas negara dengan mudah.
Namun, realitas hari ini berkata lain. Ketika imbal hasil obligasi Treasury AS (surat utang pemerintah) turun ke 4,02%, itu adalah sinyal yang jelas: uang sedang mengalir ke aset yang dianggap paling aman di dunia—obligasi pemerintah AS. Emas, meski fluktuatif, masih bertahan di sekitar level tertingginya. Sementara itu, Bitcoin? Ia berperilaku persis seperti saham-saham teknologi berisiko tinggi di Nasdaq.
"Korelasi 90 hari antara Bitcoin dan Nasdaq 100 telah mencapai level tertinggi dalam beberapa bulan terakhir," jelas Victoria Greene, CIO di G Squared Private Wealth. "Ini membuktikan bahwa bagi mayoritas besar investor institusional, kripto masih dikategorikan sebagai 'aset risiko tinggi' (high-beta asset). Dalam portofolio mereka, Bitcoin ditempatkan di keranjang yang sama dengan saham pertumbuhan teknologi, bukan di keranjang logam mulia atau obligasi."
Dengan kata lain, impian bahwa Bitcoin telah "dewasa" dan lepas dari korelasi dengan pasar tradisional masih jauh dari kenyataan. Ia tetap menjadi perahu kecil yang diombang-ambingkan gelombang besar yang diciptakan oleh The Fed, bank sentral China, dan perang kebijakan para raksasa ekonomi dunia.
Domino Geopolitik: Ketika Trump dan China Bermain Catur, Pasar Kripto Jadi Bidaknya
Eskalasi terbaru ini bukan terjadi dalam ruang hampa. Ini adalah babak terbaru dari perang dagang multi-tahun yang telah mengubah lanskapas ekonomi global. Keputusan Trump untuk mengenakan tarif baru—yang disebutnya "tindakan defensif untuk melindungi pekerja AS"—dibalas China dengan strategi yang lebih cerdik: menargetkan rantai pasok strategis AS, dalam hal ini, industri pertahanan maritim.
Lima perusahaan AS yang dikenai sanksi itu mungkin bukan nama-nama besar seperti Apple atau Tesla, tetapi mereka adalah bagian vital dari kompleks industri-militer AS. Tindakan China ini adalah pesan: kami bisa menyakiti Anda tanpa harus menyerang Apple yang mempekerjakan ribuan orang di China.
Lalu, apa hubungannya dengan harga Bitcoin?
Pertama, ketegangan geopolitik menciptakan ketidakpastian. Ketidakpastian adalah musuh terbesar pasar modal. Investor menjual aset berisiko dan mencari perlindungan dalam bentuk kas (USD) atau obligasi pemerintah. Sebagai aset berisiko, kripto terjual.
Kedua, dan ini yang lebih berbahaya, adalah spekulasi tentang pembatasan akses. China, meski telah melarang perdagangan kripto, tetap menjadi rumah bagi sebagian besar penambang (miners) Bitcoin global. Jika perang dagang berubah menjadi perang teknologi dan finansial yang lebih luas, apakah China akan menggunakan dominasinya dalam mining sebagai senjata? Atau apakah AS akan membatasi akses ke exchange kripto yang memiliki hubungan dengan entitas China? Kemungkinan-kemungkinan ini, meski masih spekulatif, sudah cukup untuk membuat whale (pemegang kripto dalam jumlah besar) mengambil untung dan menunggu di pinggir lapangan.
Masa Depan yang Volatil: Apa yang Bisa Diharapkan dari Sini?
Jadi, ke mana kita melangkah dari sini? Apakah penurunan ini adalah akhir dari bull run kripto, atau hanya jeda sehat dalam perjalanan panjang menuju harga yang lebih tinggi?
Pandangan Optimis:
Para bull (investor yang yakin harga akan naik) berargumen bahwa faktor fundamental Bitcoin tidak berubah. Halving—pemotongan imbal hasil penambangan Bitcoin—yang terjadi beberapa bulan lalu secara historis selalu memicu kenaikan harga dalam jangka menengah. Selain itu, adopsi institusional melalui ETF Bitcoin spot terus berlanjut, menyuntikkan likuiditas baru yang tidak mudah menguap. Bagi mereka, penurunan ini hanyalah "kesalahan pricing" sementara yang disebabkan oleh geopolitik, dan merupakan peluang beli (buying opportunity) yang sempurna.
Pandangan Pesimis:
Di seberang ring, para bear (investor yang yakin harga akan turun) melihat ini sebagai awal dari "musim dingin kripto" yang baru. Mereka berpendapat bahwa korelasi dengan pasar saham adalah penyakit bawaan kripto yang tidak akan pernah sembuh. Jika The Fed terpaksa menunda pemotongan suku bunga karena inflasi yang bandel, atau—yang lebih buruk—bahkan menaikkannya lagi, maka seluruh pasar aset berisiko, termasuk kripto, akan menghadapi tekanan jual yang jauh lebih besar. Bagi mereka, level US$110.000 adalah pertahanan kritis; jika tembus, kita bisa menyaksikan jatuh bebas menuju US$90.000.
Kesimpulan: Pelajaran Pahit dan Jalan ke Depan
Kejatuhan Bitcoin ke US$110.000 di tengah eskalasi perang dagang AS-China adalah pelajaran yang mahal dan pahit. Ia mengingatkan kita pada satu kebenaran mendasar: dalam hierarki flight-to-safety, aset digital masih berada di anak tangga yang jauh lebih rendah dibandingkan dolar AS, yen Jepang, atau obligasi pemerintah.
Narasi "lindung nilai" dan "emas digital" ternyata masih kalah kuat dibandingkan narasi "aset spekulatif berteknologi tinggi." Ketergantungan kripto pada sentimen makroekonomi dan kebijakan moneter AS membuatnya rentan terhadap permainan politik yang dimainkan di Washington dan Beijing.
Namun, di balik semua ini, mungkin justru inilah proses pendewasaan yang diperlukan. Pasar yang matang adalah pasar yang realistis, bukan pasar yang hidup dalam ilusi. Pengakuan bahwa Bitcoin dan kawan-kawannya masih merupakan aset risiko adalah langkah pertama menuju pemahaman yang lebih sehat.
Jadi, pertanyaan terakhir yang harus kita ajukan bukanlah "Apakah Bitcoin akan pulih?"—pasti akan, volatilitas adalah napasnya. Pertanyaannya yang lebih mendalam adalah: Sudah siapkah kita, sebagai investor dan pengamat, menerima kenyataan bahwa revolusi finansial yang kita impikan ternyata masih sangat terikat dengan sistem lama yang ingin kita ganti?
Jawaban atas pertanyaan itu mungkin lebih menentukan masa depan kripto daripada fluktuasi harga harian mana pun.
baca juga: Bitcoin: Aset Digital? Membongkar 7 Mitos Paling Berbahaya Tentang Cryptocurrency Pertama Dunia
baca juga: Regulasi Cryptocurrency di Indonesia: Hal yang Wajib Diketahui Investor






0 Komentar