Paradoks Bitcoin: Lebih Takut Perang Dagang Daripada Perang Sesungguhnya? Menguak Misteri Fluktuasi Harga di Tengah Geopolitik

Bitcoin adalah Aset Digital atau Agama Baru Membongkar 7 Mitos Paling Berbahaya Tentang Cryptocurrency Pertama Dunia

baca juga: Bitcoin: Aset Digital? Membongkar 7 Mitos Paling Berbahaya Tentang Cryptocurrency Pertama Dunia

Tips Psikologis untuk Menabung Crypto.

baca juga: Cara memahami aspek psikologis dalam investasi kripto dan bagaimana membangun strategi yang kuat untuk menabung dalam jangka panjang

Paradoks Bitcoin: Lebih Takut Perang Dagang Daripada Perang Sesungguhnya? Menguak Misteri Fluktuasi Harga di Tengah Geopolitik


Meta Description: Bitcoin anjlok hingga US$75.000 saat perang tarif AS-China, namun pulih cepat di tengah konflik Timur Tengah. Mengapa investor lebih khawatir inflasi akibat tarif daripada perang sesungguhnya? Telusuri dinamika unik Bitcoin sebagai aset global.


Pendahuluan: Ketika Pasar Menafsirkan Ancaman, Bitcoin Menari dalam Paradoks

Dunia keuangan modern senantiasa bergejolak, merespons setiap gejolak geopolitik, kebijakan ekonomi, hingga konflik militer. Namun, di antara semua aset, Bitcoin (BTC) seringkali menampilkan respons yang membingungkan, bahkan paradoksikal. Baru-baru ini, raja cryptocurrency ini kembali memicu pertanyaan besar di kalangan investor dan analis. Pada Minggu (22/06), Bitcoin jatuh hingga US$99.000 usai AS menyerang Iran, namun penurunan itu terasa "tak seberapa" jika dibandingkan dengan koreksi tajamnya pada April lalu, ketika BTC bahkan sempat menyentuh US$75.000 usai Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif baru ke sejumlah negara.

Fenomena ini memunculkan sebuah pertanyaan krusial yang mengusik nalar: Mengapa investor lebih takut terhadap perang tarif daripada perang sesungguhnya?

Data historis Bitcoin menunjukkan pola menarik. Ketika perang tarif akan diberlakukan, ketakutan investor akan kenaikan inflasi dan respons The Fed berupa kenaikan suku bunga acap kali memicu aksi jual masif. Kenaikan suku bunga The Fed membuat Dolar AS menjadi lebih menarik, yang pada gilirannya menekan harga Bitcoin. Bahkan, JP Morgan pernah memperkirakan bahwa tarif dapat meningkatkan kemungkinan resesi global menjadi 60%, menciptakan gelombang ketidakpastian ekonomi yang meluas.

Namun, di sisi lain, konflik militer yang sebenarnya, seperti pecahnya perang di Timur Tengah yang berawal dari serangan Iran ke bursa saham Israel di Tel Aviv pada Kamis (19/06), justru memperlihatkan Bitcoin yang mampu bertahan atau pulih dengan cepat, bahkan tetap berada di level positif di angka US$105.023 di hari yang sama. Bahkan setelah pengeboman AS ke situs nuklir Iran yang sempat membuat BTC turun tajam hingga US$99 ribu, Bitcoin menunjukkan kekuatan untuk pulih secara cepat.

Artikel ini akan menyelami lebih dalam paradoks respons Bitcoin terhadap berbagai jenis konflik, menganalisis faktor-faktor yang mendorong pergerakannya, meninjau peran investor ritel versus institusi di tengah ketegangan, dan mempertanyakan kembali narasi Bitcoin sebagai aset aman di tengah ketidakpastian global.


Perang Tarif: Momok Inflasi dan Suku Bunga yang Lebih Menakutkan dari Rudal?

Koreksi Bitcoin yang lebih dalam saat perang tarif diumumkan, dibandingkan dengan responsnya terhadap konflik militer, menggarisbawahi prioritas investor terhadap stabilitas ekonomi makro.

1. Kekhawatiran Inflasi:

  • Definisi Tarif: Tarif adalah pajak yang dikenakan pada barang impor. Ketika tarif diberlakukan, biaya impor barang naik, yang kemudian diteruskan ke konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi. Ini secara langsung memicu inflasi.

  • Dampak pada Daya Beli: Inflasi mengikis daya beli uang. Investor, baik ritel maupun institusional, khawatir bahwa aset mereka akan kehilangan nilai riil jika inflasi tidak terkendali.

  • Ancaman Terhadap Pertumbuhan Ekonomi: Perang tarif dapat mengganggu rantai pasok global, meningkatkan biaya produksi, dan mengurangi volume perdagangan internasional, yang semuanya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.

2. Respon The Fed dan Suku Bunga:

  • Mandat The Fed: Mandat utama Federal Reserve adalah menjaga stabilitas harga (melawan inflasi) dan mencapai lapangan kerja maksimum. Jika inflasi naik karena tarif, The Fed cenderung merespons dengan menaikkan suku bunga acuan.

  • Dampak Kenaikan Suku Bunga pada Bitcoin:

    • Daya Tarik Dolar AS: Kenaikan suku bunga membuat Dolar AS menjadi lebih menarik sebagai aset berpendapatan tetap dan mata uang safe haven. Investor cenderung mengalihkan modal dari aset berisiko (seperti Bitcoin) ke aset yang memberikan imbal hasil lebih tinggi dan dianggap lebih aman.

    • Biaya Pinjaman: Suku bunga yang lebih tinggi meningkatkan biaya pinjaman bagi perusahaan dan individu, memperlambat investasi dan konsumsi, yang dapat memicu resesi. Bitcoin, sebagai aset pertumbuhan, cenderung terpukul dalam lingkungan resesi.

  • Peringatan JP Morgan: Pernyataan JP Morgan yang meningkatkan kemungkinan resesi menjadi 60% pasca tarif menegaskan bahwa pasar sangat peka terhadap dampak ekonomi makro dari kebijakan perdagangan. Ketidakpastian ekonomi yang dihadapi oleh banyak orang dan investor menjadi pemicu utama aksi jual.

Pemicu Diskusi: Apakah investor memang lebih takut pada intervensi bank sentral daripada ancaman militer, karena intervensi bank sentral berdampak langsung dan sistemik pada valuasi aset mereka?


Konflik Militer: Ketahanan Bitcoin di Tengah Api Geopolitik

Berbeda dengan respons terhadap perang tarif, Bitcoin menunjukkan ketahanan yang luar biasa di tengah konflik militer yang sesungguhnya di Timur Tengah. Bahkan saat serangan Iran ke bursa saham Israel atau pengeboman AS ke situs nuklir Iran, Bitcoin menunjukkan penurunan yang cepat pulih atau bahkan kenaikan.

1. Serangan Iran ke Bursa Saham Israel dan Respons Bitcoin:

  • Ketika Iran menyerang bursa saham Israel di Tel Aviv pada Kamis (19/06), yang secara intuitif akan memicu kepanikan, Bitcoin justru tetap berada di level positif, mencapai US$105.023 pada hari yang sama. Ini adalah indikasi awal dari ketahanan.

  • Meskipun sempat turun tajam hingga ke level US$99 ribu usai pengeboman AS ke situs nuklir Iran, Bitcoin tetap menunjukkan kekuatan untuk pulih cepat.

2. Sejarah Ketahanan Bitcoin dalam Konflik Global:

  • Ketegangan AS dan Iran pada tahun 2020: Bitcoin menunjukkan pergerakan naik atau stabilitas.

  • Invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022: Meskipun ada volatilitas awal, Bitcoin, bersama emas, menunjukkan ketahanan relatif dan bahkan sempat berfungsi sebagai alat donasi lintas batas.

  • Konflik Iran-Israel tahun ini: Sekali lagi, Bitcoin menunjukkan kemampuan untuk bertahan dan pulih cepat di tengah ketidakpastian.

3. Mengapa Bitcoin Cenderung Stabil atau Naik Saat Konflik Militer?

  • Aset Tanpa Batas: Bitcoin adalah aset yang tidak terikat pada yurisdiksi nasional mana pun. Dalam situasi konflik, di mana mata uang fiat lokal bisa kehilangan nilai atau akses perbankan terganggu, Bitcoin bisa menjadi alat transfer nilai yang permissionless dan tanpa batas.

  • Narasi "Emas Digital": Meskipun masih diperdebatkan, narasi Bitcoin sebagai "emas digital" atau safe haven alternatif semakin mendapatkan daya tarik. Dalam situasi krisis yang mengancam stabilitas sistem finansial tradisional, Bitcoin bisa menjadi pelarian bagi modal.

  • Sifat Desentralisasi: Tidak ada bank sentral atau pemerintah yang dapat mengontrol atau menyita Bitcoin secara langsung, menjadikannya menarik di mata mereka yang mencari aset yang tahan sensor.

  • Fokus Investor pada Perlindungan Kekayaan: Dalam perang militer, fokus investor mungkin beralih dari potensi inflasi jangka panjang ke perlindungan kekayaan jangka pendek dan aksesibilitas aset di tengah kekacauan.

Pemicu Diskusi: Apakah ketahanan Bitcoin di tengah konflik militer menunjukkan bahwa ia semakin diterima sebagai aset "netral" di panggung global, yang melampaui politik dan batas negara?


Dinamika Investor: Ritel vs. Institusi di Tengah Geopolitik

Pergerakan harga Bitcoin di tengah gejolak geopolitik juga diwarnai oleh dinamika menarik antara investor ritel dan institusi.

  • Aktivitas Ritel yang Dominan: Data menunjukkan bahwa di tengah perang Timur Tengah dan AS, ada lebih banyak aksi aktivitas ritel dibanding institusi. Hal ini penting karena investor ritel cenderung lebih reaktif terhadap berita dan sentimen, yang dapat menyebabkan fluktuasi harga jangka pendek yang lebih besar.

  • Peningkatan Posisi Short Ritel (Alphractal): Menurut data Alphractal, tren peningkatan posisi short dari investor ritel sangat meningkat di bursa akibat ketegangan geopolitik. Ini mengindikasikan bahwa banyak investor ritel bertaruh pada penurunan harga Bitcoin di tengah konflik.

  • Short Squeeze dan Pemulihan Cepat: Namun, jika harga tidak jatuh sesuai ekspektasi posisi short ini, bahkan pulih, hal itu dapat memicu short squeeze, di mana trader yang short terpaksa membeli Bitcoin untuk menutup posisi mereka, yang pada gilirannya mendorong harga naik lebih lanjut. Ini bisa menjelaskan mengapa Bitcoin menunjukkan kekuatan untuk pulih cepat bahkan setelah penurunan tajam.

  • Sentimen Investor "Sedikit Bullish" (Santiment): Meskipun ada ketegangan geopolitik, riset Santiment menunjukkan bahwa sentimen investor saat ini didorong naik cepat lantaran berada di tren yang sedikit bullish. Ini dikonfirmasi dengan pembelian 14.004 Bitcoin atau US$1,4 miliar oleh investor, sebuah indikasi bahwa kepercayaan pasar secara keseluruhan tetap positif.

Ini menunjukkan bahwa meskipun ada kekhawatiran dari sebagian investor ritel yang mengambil posisi short, narasi bullish yang lebih besar, mungkin didorong oleh sentimen institusional atau keyakinan fundamental jangka panjang, tetap mendominasi.


Resesi vs. Konflik Fisik: Mengurai Akar Ketakutan Investor

Mengapa resesi dan kenaikan suku bunga (akibat perang tarif) terasa lebih menakutkan bagi investor daripada konflik militer langsung?

  1. Dampak Sistemik vs. Lokal:

    • Perang Tarif/Resesi: Ancaman resesi global atau inflasi yang tidak terkendali memiliki dampak sistemik yang memengaruhi setiap aspek ekonomi dan setiap kelas aset. Tidak ada yang terhindar dari penurunan daya beli atau kesulitan ekonomi. Ini adalah ancaman yang meresap ke seluruh portofolio.

    • Konflik Militer: Meskipun mengerikan, konflik militer seringkali memiliki dampak yang lebih terlokalisasi dan terfokus pada wilayah tertentu atau sektor tertentu (misalnya, energi). Pasar global mungkin mengalami volatilitas awal, tetapi seringkali akan "menyesuaikan diri" atau melihat peluang di tempat lain. Investor mungkin melihatnya sebagai risiko yang dapat diisolasi atau dilindungi nilai melalui diversifikasi.

  2. Kepastian Dampak Ekonomi:

    • Resesi/Inflasi: Dampak ekonomi dari inflasi dan resesi (hilangnya pekerjaan, penurunan daya beli, penurunan laba perusahaan) jauh lebih dapat diprediksi dan terukur. Investor tahu persis bagaimana kondisi ini akan memengaruhi investasi mereka.

    • Perang: Hasil perang jauh lebih tidak pasti dan seringkali memiliki elemen kemanusiaan dan politik yang kompleks, yang tidak selalu diterjemahkan langsung ke dalam pergerakan pasar yang jelas.

  3. Kendali dan Intervensi:

    • Bank Sentral: Investor sangat peka terhadap kebijakan bank sentral. Respons The Fed terhadap inflasi (kenaikan suku bunga) memiliki dampak langsung dan dapat diprediksi pada pasar keuangan. Investor tahu siapa yang memegang kendali dan bagaimana mereka kemungkinan akan bertindak.

    • Konflik: Tidak ada entitas tunggal yang memiliki kendali penuh atas jalannya perang. Hasilnya tidak dapat diprediksi, dan respons pasar seringkali lebih merupakan reaksi terhadap berita daripada perhitungan fundamental ekonomi.

Pemicu Diskusi: Apakah ini menunjukkan bahwa dalam era keuangan global terintegrasi, risiko ekonomi makro yang tak terlihat jauh lebih menakutkan bagi investor daripada ancaman fisik yang terlihat?


Bitcoin sebagai "Aset Aman" di Tengah Paradoks?

Data dan respons Bitcoin terhadap berbagai konflik menantang narasi konvensional tentang Bitcoin sebagai aset "berisiko tinggi."

  • Pembaruan Narasi "Emas Digital": Meskipun volatilitasnya masih ada, ketahanan Bitcoin di tengah konflik militer global memberikan bobot baru pada argumen "emas digital" atau safe haven alternatif. Ini mungkin tidak berarti ia adalah safe haven dalam pengertian tradisional seperti emas atau obligasi pemerintah, tetapi ia memiliki karakteristik unik yang membuatnya menarik bagi investor yang menghadapi ketidakpastian ekstrem.

  • Aset Tanpa Batas dan Tahan Sensor: Sifat desentralisasi Bitcoin membuatnya kebal terhadap penyitaan atau pembekuan oleh pemerintah dalam situasi konflik. Ini sangat menarik bagi individu atau entitas di wilayah yang tidak stabil.

  • Potensi Sebagai Alat Kemanusiaan/Pembayaran Lintas Batas: Seperti yang terlihat dalam konflik Ukraina, Bitcoin dapat berfungsi sebagai alat untuk mengirimkan dana bantuan kemanusiaan atau memfasilitasi pembayaran lintas batas ketika sistem perbankan tradisional terganggu.

Namun, penting untuk dicatat bahwa Bitcoin masih merupakan aset yang relatif baru dan volatil. Kinerjanya dalam beberapa konflik terakhir mungkin tidak menjamin respons yang sama di masa depan. Investor harus tetap melakukan riset mandiri (Do Your Own Research - DYOR) dan tidak menganggap Bitcoin sebagai aset tanpa risiko.


Kesimpulan: Bitcoin, Indikator Ketakutan Global yang Berevolusi

Paradoks respons Bitcoin terhadap perang tarif dan konflik militer yang sesungguhnya adalah jendela menarik ke dalam psikologi investor global. Ini mengungkapkan bahwa bagi sebagian besar pelaku pasar, ketakutan akan inflasi yang merajalela dan intervensi agresif bank sentral (yang dipicu oleh perang tarif) terasa lebih mengancam daripada eskalasi konflik fisik. Dampak sistemik dan terukur dari krisis ekonomi makro, yang berpotensi memengaruhi setiap aspek kehidupan finansial, tampaknya lebih menggentarkan daripada gejolak geopolitik yang, meskipun mengerikan, bisa jadi memiliki dampak yang lebih terlokalisasi atau dapat diantisipasi.

Namun, ketahanan Bitcoin yang berulang kali terlihat di tengah gejolak militer—mulai dari ketegangan AS-Iran 2020, invasi Rusia ke Ukraina 2022, hingga konflik Iran-Israel saat ini—juga memberikan perspektif baru. Ia menggarisbawahi potensi Bitcoin sebagai aset "netral" yang melampaui batas negara dan sistem keuangan tradisional, menawarkan alat perlindungan nilai atau bahkan saluran pembayaran alternatif bagi mereka yang menghadapi ketidakpastian ekstrem. Aktivitas investor ritel yang mendominasi posisi short di tengah konflik menunjukkan adanya perbedaan pandangan, namun sentimen bullish yang lebih besar tampaknya tetap bertahan, mendorong pemulihan cepat harga.

Pada akhirnya, Bitcoin terus berevolusi, tidak hanya sebagai teknologi finansial, tetapi juga sebagai barometer unik dari ketakutan dan harapan global. Ini bukan lagi sekadar aset spekulatif, melainkan sebuah entitas yang responsnya terhadap peristiwa dunia menantang narasi konvensional dan memaksa kita untuk memikirkan kembali apa arti "risiko" dan "keamanan" di era digital. Apakah Bitcoin akan sepenuhnya melepaskan label volatilitasnya dan menjadi safe haven global sejati? Perjalanan masih panjang, tetapi setiap gejolak geopolitik tampaknya semakin memperkuat posisinya sebagai aset yang patut diperhitungkan.


Disclaimer Alert. Not Financial Advice (NFA). Do Your Own Research (DYOR).


Regulasi Cryptocurrency di Indonesia: Hal yang Wajib Diketahui Investor

baca juga: Regulasi Cryptocurrency di Indonesia: Hal yang Wajib Diketahui Investor

0 Komentar