baca juga: Bitcoin: Aset Digital? Membongkar 7 Mitos Paling Berbahaya Tentang Cryptocurrency Pertama Dunia
Trump Sebut Diskusi AS-China Telah Selesai, Kenakan Tarif Sebesar 55%: Apakah Ini Perang Ekonomi Jilid Dua?
Meta Description
Trump umumkan kesepakatan baru AS-China dengan tarif impor 55% bagi produk China. Apakah ini langkah berani atau bencana ekonomi global? Simak analisis lengkap dan opini berimbang dalam artikel ini.
1. Pendahuluan
“Jika tarif menjadi alat diplomasi, apakah dunia tengah bersiap menuju medan tempur baru bernama ekonomi global?”
Pada 11 Juni 2025, dunia diguncang oleh satu pernyataan mengejutkan yang keluar dari akun media sosial mantan Presiden AS, Donald J. Trump. Dalam gaya khasnya yang penuh retorika dan kontroversi, ia menyatakan bahwa diskusi dagang antara Amerika Serikat dan China telah selesai. Kesimpulannya? AS akan mengenakan tarif impor sebesar 55% terhadap produk asal China, sementara China akan memberlakukan bea masuk 10% terhadap barang dari AS.
Pernyataan tersebut sontak membuat pasar global bergejolak. Bursa saham anjlok, nilai tukar yuan dan dolar bergerak liar, dan analis ekonomi dunia kembali menyebut-nyebut istilah lama yang mengerikan: "perang dagang".
Namun, pertanyaannya: Apakah ini benar-benar hanya soal perdagangan, atau ada motif politik dan geopolitik yang lebih dalam?
Dalam artikel panjang ini, kita akan membedah langkah Trump dari berbagai sisi: ekonomi, diplomasi, politik, teknologi, dan bahkan budaya. Kami juga akan menyajikan opini berimbang dari pakar ekonomi, diplomat, pengusaha, serta masyarakat biasa yang terdampak. Sebab, satu hal yang pasti: kebijakan ini tidak terjadi dalam ruang hampa.
2. Latar Belakang: Hubungan Perdagangan AS-China
Persaingan Dua Raksasa Ekonomi
Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok merupakan dua kekuatan ekonomi terbesar dunia. Persaingan keduanya tidak hanya terjadi di bidang perdagangan, tetapi juga di bidang militer, teknologi, pendidikan, bahkan eksplorasi luar angkasa.
Sejak tahun 2000-an, China menjadi pemasok utama barang murah ke pasar AS. Dari elektronik, pakaian, hingga bahan baku industri—semuanya datang dari pabrik-pabrik raksasa di Guangzhou, Shenzhen, dan Tianjin. Sebaliknya, AS mengekspor produk teknologi tinggi, pertanian, dan jasa ke China.
Namun, hubungan ini tak selalu harmonis. Ketegangan mulai memuncak pada 2018 saat Trump memulai "Perang Dagang Jilid Satu", dengan mengenakan tarif tinggi untuk produk China senilai lebih dari US$ 300 miliar. China membalas dengan cara serupa. Hasilnya: pertumbuhan global melambat, rantai pasok terganggu, dan banyak perusahaan multinasional rugi besar.
Apakah Dunia Belum Belajar?
Kini, dengan tarif baru sebesar 55%, sejarah tampaknya terulang. Bedanya, kali ini skalanya jauh lebih besar, dan terjadi di tengah situasi dunia yang jauh lebih rapuh: pemulihan pasca pandemi, konflik geopolitik di Eropa Timur dan Timur Tengah, serta ketegangan di Laut China Selatan.
3. Kronologi Kesepakatan Terbaru: Apa yang Diumumkan Trump?
Dalam cuitannya yang viral, Trump menulis:
“Kesepakatan kita dengan China telah selesai, tinggal menunggu persetujuan akhir dari Presiden Xi dan saya. Hubungan kita sangat baik! Terima kasih atas perhatian Anda terhadap hal ini!”
Menurut laporan dari Bloomberg, CNN, dan The Wall Street Journal, kesepakatan ini sebenarnya telah melalui negosiasi rahasia selama 6 bulan terakhir. Dalam dokumen bocoran yang didapat media, poin-poin utama dari kesepakatan tersebut meliputi:
Tarif 55% atas lebih dari 4.000 kategori produk China, mulai dari semikonduktor, peralatan rumah tangga, kendaraan listrik, hingga mainan.
Ekspor tanah jarang dan magnet industri dari China ke AS akan dibatasi kuotanya.
AS tetap mengizinkan pelajar China belajar di universitas AS, tetapi dengan pengawasan visa yang lebih ketat.
AS akan membuka akses pasar pertaniannya untuk produk-produk China seperti kedelai dan jagung, namun dengan pembatasan kuota.
4. Tarif 55%: Kejutan atau Strategi?
Tarif setinggi itu belum pernah diterapkan oleh AS terhadap negara manapun sejak era proteksionisme awal abad ke-20. Bahkan dalam Perang Dagang 2018–2019, tarif tertinggi hanya sekitar 25%.
Apakah ini cara Trump menunjukkan dominasi, atau strategi untuk memaksakan kehendak AS dalam percaturan global?
Beberapa analis menganggap ini sebagai bluffing politik menjelang Pilpres 2026, terutama karena basis pemilih Trump terdiri dari buruh pabrik yang merasa tersaingi oleh barang-barang murah China.
Namun, ekonom dari Brookings Institution mengingatkan bahwa kebijakan ini bisa menjerumuskan AS ke dalam inflasi tinggi dan kelangkaan barang, sebagaimana terjadi di tahun 2019.
baca juga: Regulasi Cryptocurrency di Indonesia: Hal yang Wajib Diketahui Investor
0 Komentar