Dikibuli Programmer Asing, Purbaya: “Yang Jago-Jago Justru Orang Indonesia!”
Meta Description (160 karakter):
Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa bongkar kekacauan Coretax buatan LG. Ia tegas: “Programmer Indonesia lebih jago dari asing!” — ini alasannya.
Pendahuluan: Ketika Teknologi Jadi Senjata yang Menikam ke Dalam Negeri
Apakah bangsa sebesar Indonesia masih harus “bergantung” pada tangan asing untuk mengelola sistem digital strategis seperti perpajakan nasional?
Pertanyaan itu kembali menggema setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menumpahkan kekesalannya atas kegagalan sistem Coretax, platform administrasi perpajakan yang dikembangkan oleh kontraktor asing asal Korea Selatan, LG.
Alih-alih menjadi tonggak digitalisasi pajak yang efisien, proyek bernilai triliunan rupiah ini justru berubah menjadi bumerang. Bukan hanya tertunda dari target implementasi awal (Januari 2025), tetapi juga menimbulkan kekacauan di lapangan — mulai dari bug parah, error merah di layar wajib pajak, hingga performa sistem yang dianggap “tidak selevel profesional”.
“Yang dikasih ke kita kayaknya bukan orang jago-jagonya,” ujar Purbaya dengan nada tegas. “Jadi ya Indonesia sering dikibuli asing.”
Ketika "Asing" Dianggap Hebat, Tapi Nyatanya Mengecewakan
Pernyataan Purbaya bukan sekadar luapan emosi, tapi kritik tajam terhadap mental inferioritas bangsa terhadap tenaga asing. Ia menyinggung fenomena “worship K-pop” sebagai sindiran simbolik — bahwa tidak semua hal yang datang dari luar otomatis lebih baik.
“Begitu asing, wah, apalagi K-pop. Tapi di bidang programmer beda ya. Di K-pop jago, tapi di coding belum tentu,” ujarnya, disambut tawa hadirin.
Masalahnya bukan sekadar bug teknis, melainkan soal kedaulatan digital. Sistem perpajakan adalah jantung finansial negara. Jika dikendalikan oleh pihak asing, risiko kebocoran data dan ketergantungan sistemik bukan hal mustahil.
Sumber internal Ditjen Pajak yang enggan disebutkan namanya menyebut bahwa logic pemrograman Coretax versi LG tidak optimal, bahkan banyak fungsi dasar yang gagal dijalankan saat pengujian beban.
“Data wajib pajak sering tidak sinkron. Validasi lambat. Kadang muncul error merah padahal input sudah benar,” ungkapnya.
Proyek Coretax: Ambisi Besar yang Tersandung Ego Globalisasi
Program Coretax sebenarnya dirancang untuk menyatukan sistem pelaporan dan administrasi pajak Indonesia agar lebih efisien dan transparan.
Namun, sejak awal, proyek ini dikritik karena dominasi pihak asing — mulai dari desain arsitektur sistem, pemilihan bahasa pemrograman, hingga kontrol infrastruktur server.
Ketika uji coba dilakukan di beberapa kantor pajak, banyak petugas mengeluhkan waktu loading yang lambat, gagal login, dan data yang tak tersimpan otomatis.
Padahal sistem ini rencananya akan menjadi basis utama pengawasan pajak digital nasional.
Kegagalan ini memunculkan pertanyaan besar:
Mengapa pemerintah mempercayakan proyek strategis ke vendor asing, padahal SDM digital Indonesia melimpah dan diakui dunia?
“Yang Jago-Jago Orang Indonesia” — Kebangkitan Hacker dan Programmer Lokal
Di tengah kekacauan itu, Purbaya menegaskan arah baru: pemerintah akan memutus kontrak dengan LG dan menyerahkan proyek Coretax kepada tenaga ahli dalam negeri.
“Sekarang hampir pasti udah gak bisa lagi, dan kita juga udah panggil hacker kita. Yang jago-jago orang Indonesia, bukan orang asing,” katanya.
Langkah ini menjadi simbol kebangkitan nasional di sektor siber.
Selama ini, dunia mungkin mengenal hacker Indonesia lewat reputasi “peretas nakal”, tapi di sisi lain, mereka juga berprestasi di kancah global.
Beberapa nama besar asal Indonesia pernah menembus peringkat dunia dalam ajang Capture The Flag (CTF), kompetisi keamanan siber bergengsi.
Purbaya menyebut telah mengundang para hacker top dunia asal Indonesia untuk membantu memperkuat sistem keamanan Coretax, dengan target mencapai standar A+.
“Orang Indonesia tuh hackernya jago-jago banget. Di dunia juga ditakutin rupanya,” katanya bangga.
Kedaulatan Digital: Isu Baru yang Mulai Disadari Pemerintah
Kasus Coretax bukan hanya soal kualitas software, tetapi juga membuka diskusi lebih luas tentang kedaulatan digital nasional.
Selama ini, banyak sistem pemerintahan — mulai dari e-budgeting, e-procurement, hingga smart city — menggunakan jasa dan infrastruktur asing.
Pertanyaannya: jika semua dikendalikan dari luar, apakah negara benar-benar berdaulat di dunia digital?
Data adalah “minyak baru” abad ke-21. Mengandalkan vendor asing berarti memberi akses terhadap aset strategis bangsa.
Inilah yang mulai disadari banyak pejabat, termasuk Purbaya, yang kini mendorong “digital nationalism” — semangat menggunakan dan memperkuat sumber daya lokal.
Menurut laporan BPS 2024, Indonesia memiliki lebih dari 1,3 juta talenta digital aktif, dan sekitar 200 ribu di antaranya bekerja di bidang cybersecurity, cloud computing, dan software development.
Angka ini membuktikan potensi besar yang selama ini “tidur” karena kebijakan yang terlalu pro-asing.
Opini Berimbang: Antara Nasionalisme dan Profesionalisme
Namun, sebagian pihak menilai pernyataan Purbaya terlalu emosional.
Beberapa pengamat teknologi menilai bahwa kegagalan proyek tidak semata-mata karena vendor asing, tetapi juga akibat lemahnya perencanaan dan komunikasi antar instansi pemerintah.
Menurut Dr. Iwan Setiawan, pakar IT Governance dari Universitas Indonesia,
“Masalah Coretax bukan hanya soal siapa yang mengerjakan, tapi bagaimana prosesnya dikawal. Kalau requirement-nya tidak jelas, siapa pun bisa gagal — baik LG maupun lokal.”
Pendapat ini mengingatkan bahwa nasionalisme digital harus dibarengi profesionalisme. Bukan sekadar mengganti bendera vendor, tapi juga membangun sistem manajemen proyek yang solid dan terukur.
Ketika Hacker Jadi Pahlawan: Paradigma yang Mulai Bergeser
Menariknya, langkah pemerintah melibatkan komunitas hacker lokal justru disambut positif oleh publik.
Selama ini, istilah “hacker” sering berkonotasi negatif, namun kini mulai dianggap sebagai garda depan pertahanan siber nasional.
Di era AI dan big data, perang siber tidak lagi abstrak. Negara-negara saling mengintai, mencuri data, bahkan menanamkan malware ke sistem vital.
Dengan kemampuan mereka yang mumpuni, hacker Indonesia berpotensi menjadi tameng digital bagi kepentingan nasional — selama difasilitasi dan diarahkan dengan benar.
“Kalau selama ini mereka dicap peretas, sekarang saatnya mereka jadi penjaga,” ujar seorang anggota komunitas keamanan siber yang enggan disebutkan namanya.
Revolusi Digital Made in Indonesia: Harapan Baru Pasca Coretax
Keputusan untuk mengandalkan talenta lokal dalam perbaikan Coretax menjadi momentum penting.
Jika berhasil, ini bisa menjadi preseden baru bagi proyek-proyek digital pemerintah lainnya.
Purbaya optimistis sistem pajak baru akan rampung pada Februari 2026, dengan performa yang jauh lebih efisien, aman, dan sesuai kebutuhan pengguna.
“Udah kita test, udah lumayan,” ujarnya. “Yang ngerjain sekarang orang-orang ranking dunia dari Indonesia.”
Langkah ini bisa menginspirasi transformasi digital lain: dari digital dependency menuju digital sovereignty.
Kesimpulan: Saatnya Percaya pada Kecerdasan Anak Negeri
Kasus Coretax menjadi pelajaran mahal bagi Indonesia: bahwa kedaulatan digital tidak bisa disubkontrakkan.
Ketika data, algoritma, dan sistem publik berada di tangan asing, kemandirian bangsa berada di ujung tanduk.
Pernyataan Purbaya, meski terdengar kontroversial, sesungguhnya adalah panggilan kebangkitan.
Sudah saatnya bangsa ini percaya pada kemampuan sendiri. Karena pada akhirnya —
“yang jago-jago memang orang Indonesia.”
Keyword Utama & LSI (untuk SEO):
-
Coretax Indonesia
-
Purbaya Yudhi Sadewa
-
programmer Indonesia vs asing
-
hacker Indonesia
-
kedaulatan digital nasional
-
kegagalan proyek LG Coretax
-
digital sovereignty Indonesia
Apakah Anda percaya bahwa Indonesia bisa mandiri tanpa campur tangan asing di bidang teknologi strategis seperti pajak dan keamanan siber?
Atau justru masih harus bergantung demi efisiensi global?
💬 Tulis pendapatmu di kolom komentar — karena masa depan digital Indonesia ada di tangan kita sendiri.
baca juga: Bitcoin: Aset Digital? Membongkar 7 Mitos Paling Berbahaya Tentang Cryptocurrency Pertama Dunia
baca juga: Regulasi Cryptocurrency di Indonesia: Hal yang Wajib Diketahui Investor






0 Komentar