In-Depth | Meskipun Investor, Mengapa Kebijakan Trump Justru Sering Bikin Pasar “Kebakaran”?
Meta Description (160 karakter):
Donald Trump dikenal investor ulung, tapi kebijakan ekonominya justru mengguncang pasar global. Mengapa logika investornya tak sejalan dengan tindakannya?
Pendahuluan: Ironi Seorang Presiden-Investor
Donald J. Trump, mantan Presiden Amerika Serikat sekaligus miliarder yang dikenal sebagai investor real estate sukses, selalu menampilkan dirinya sebagai “orang bisnis yang mengerti uang.” Namun, ironinya, selama masa pemerintahannya (2017–2021), kebijakan ekonominya justru berkali-kali mengguncang pasar keuangan global — dari Wall Street hingga pasar crypto.
Sementara sebagian pendukungnya menilai Trump adalah pemimpin yang berani “melawan arus globalisasi,” banyak ekonom justru melihat pendekatannya sebagai paradoks: seorang investor yang menembak kaki pasarnya sendiri.
Apakah ini strategi ekonomi yang salah hitung, atau justru langkah politik cerdas yang disamarkan dengan narasi nasionalisme ekonomi?
Trump dan Paradigma “America First” yang Mengubah Segalanya
Ketika Trump memenangkan pemilu 2016, ia datang dengan janji besar: Make America Great Again. Di balik slogan itu, tersimpan agenda ekonomi yang sangat proteksionis — melindungi industri dalam negeri dari “serbuan” impor, terutama dari China.
Trump menuduh China melakukan “praktik dagang curang”, mencuri kekayaan intelektual Amerika, dan memanipulasi nilai tukar yuan. Dalam pidato-pidatonya, ia kerap menyebut defisit perdagangan AS yang mencapai ratusan miliar dolar per tahun sebagai “bukti Amerika telah ditipu oleh dunia.”
Maka lahirlah kebijakan tarif impor: ratusan miliar dolar produk China dikenai pajak tambahan hingga 25%.
Tujuannya jelas — menekan defisit dan memaksa China bermain “fair”.
Namun, dampak sampingannya?
Pasar keuangan global langsung bereaksi keras.
Pasar Global Panik: Dari Dow Jones ke Pasar Crypto
Bagi investor, pasar keuangan adalah tentang kepastian. Ketika kebijakan berubah cepat dan tidak terduga, kepastian itu hilang — volatilitas pun meningkat.
Pada pertengahan 2018, ketika Trump mulai menaikkan tarif impor secara agresif, indeks Dow Jones Industrial Average sempat anjlok lebih dari 800 poin hanya dalam sehari.
Pasar Asia ikut terseret, sementara harga komoditas seperti tembaga dan minyak juga turun akibat kekhawatiran perlambatan ekonomi global.
Tak hanya itu, kebijakan Trump bahkan berdampak ke sektor yang tampak tak terkait langsung — pasar crypto.
Bitcoin dan altcoin mengalami fluktuasi ekstrem, karena investor beralih ke aset digital sebagai “safe haven alternatif” di tengah ketidakpastian geopolitik.
Ironis, bukan?
Trump sendiri pernah menyebut Bitcoin sebagai “penipuan,” tapi kebijakannya justru membuat orang lari ke Bitcoin.
Kebijakan yang Menguntungkan Sebagian, Tapi Membakar Banyak
Trump memang berhasil “menyelamatkan” beberapa industri yang menjadi basis politiknya, seperti baja dan aluminium. Pabrik-pabrik di negara bagian Rust Belt (wilayah industri berat yang menurun) sempat bangkit.
Namun, harga barang konsumen di Amerika naik karena biaya impor meningkat. Perusahaan otomotif seperti General Motors bahkan melaporkan kerugian miliaran dolar akibat rantai pasok yang terganggu.
Para ekonom dari Universitas Harvard dan Brookings Institution mencatat bahwa biaya tarif lebih banyak ditanggung oleh konsumen AS sendiri, bukan oleh China seperti klaim Trump.
Laporan Peterson Institute for International Economics (2020) menyebutkan bahwa tarif impor era Trump menyebabkan kerugian ekonomi sekitar USD 1,7 triliun dalam jangka menengah.
Apakah ini bentuk kebijakan “pro-Amerika”?
Atau justru strategi politik yang mengorbankan kestabilan jangka panjang demi kemenangan elektoral jangka pendek?
Investor Paham Logika Pasar, Tapi Politisi Paham Logika Kekuasaan
Sebagai investor, Trump tentu mengerti bahwa pasar membenci ketidakpastian.
Namun sebagai politisi, ia juga tahu bahwa “kekacauan yang terukur” bisa menjadi senjata retorika yang ampuh.
Ketika pasar jatuh akibat perang dagang, Trump justru menggunakan momen itu untuk menekan The Federal Reserve agar menurunkan suku bunga — dan berhasil.
Ia mengklaim langkah itu sebagai bukti bahwa dirinya mampu “mengendalikan ekonomi.”
Di sisi lain, sikapnya yang konfrontatif terhadap China, Uni Eropa, bahkan NATO, sering kali diartikan sebagai upaya mengalihkan perhatian publik dari tekanan politik domestik, termasuk penyelidikan terkait pemakzulan dan dugaan campur tangan Rusia.
Dengan kata lain, Trump bukan tidak paham efek kebijakan terhadap pasar, ia hanya menempatkan stabilitas pasar bukan sebagai prioritas utama — melainkan sebagai alat tawar politik.
Kontradiksi: Investor Berpikir Profit, Politisi Berpikir Popularitas
Inilah letak kontradiksi utama Donald Trump.
Sebagai pengusaha, ia dikenal lihai memanfaatkan peluang, berani mengambil risiko, dan tahu kapan harus keluar sebelum rugi.
Namun sebagai presiden, tindakannya sering kali lebih bersifat ideologis dan emosional ketimbang rasional.
Contoh paling jelas terjadi pada tahun 2019. Saat itu, pasar mulai pulih setelah gejolak perang dagang mereda. Namun, dalam satu cuitan Twitter, Trump menuduh China “tidak jujur” dalam negosiasi dan mengancam menaikkan tarif baru.
Pasar pun panik lagi. Dow Jones turun lebih dari 600 poin hanya karena satu tweet.
Bagaimana bisa seorang investor yang memahami sensitivitas pasar justru menjadi sumber ketidakpastian itu sendiri?
Jawabannya sederhana namun tajam: karena Trump bukan lagi investor — dia politisi yang bermain dengan persepsi, bukan angka.
Efek Domino ke Dunia: Dari Eropa ke Asia
Kebijakan proteksionis Trump juga mengguncang mitra dagang lainnya.
Eropa terancam kena tarif mobil, Kanada dan Meksiko ditekan untuk menandatangani ulang perjanjian perdagangan (NAFTA diganti menjadi USMCA), dan Asia Tenggara terkena imbas rantai pasok global yang terganggu.
Bank Dunia memperkirakan bahwa perang dagang AS–China menurunkan pertumbuhan ekonomi global hingga 0,7% pada 2019 — angka yang cukup signifikan dalam skala ekonomi dunia.
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, dampaknya terasa pada volatilitas nilai tukar rupiah, penurunan ekspor, dan gejolak di pasar saham regional.
Investor asing cenderung menahan diri, menunggu arah kebijakan global yang lebih pasti.
Menjelang Pemilu 2024: Trump, Pasar, dan Masa Depan Ekonomi Global
Kini, ketika Trump kembali mencalonkan diri untuk pemilu 2024 (dan berpotensi kuat menang setelah debat yang mengguncang lawannya), dunia keuangan kembali waspada.
Apakah gelombang Trump kedua akan membawa kebijakan yang lebih keras terhadap China, atau justru kompromi yang lebih realistis?
Banyak analis memperkirakan bahwa Trump 2.0 akan lebih berfokus pada kontrol rantai pasok dan pembatasan investasi asing, terutama di sektor teknologi dan energi.
Namun pasar tetap waspada — sejarah membuktikan bahwa di bawah Trump, satu keputusan bisa membalik arah ekonomi global dalam semalam.
Pertanyaannya:
Apakah dunia siap menghadapi satu dekade lagi di mana tweet presiden bisa mengguncang triliunan dolar kapitalisasi pasar?
Kesimpulan: Ketika Ekonomi Jadi Alat Politik
Kebijakan ekonomi Donald Trump menunjukkan bahwa pemahaman bisnis tidak selalu sejalan dengan kepemimpinan ekonomi.
Ia mungkin investor yang cerdas, tetapi sebagai pemimpin dunia, tindakannya lebih sering dituntun oleh politik identitas dan kekuasaan, bukan efisiensi pasar.
Trump menjadikan ekonomi sebagai instrumen politik nasionalisme, bukan sekadar arena perhitungan profit dan loss.
Dan selama ia tetap berpegang pada filosofi “America First”, pasar global akan selalu hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian — antara logika investor dan strategi politisi.
🔍 Pertanyaan untuk Pembaca:
Apakah Anda melihat kebijakan Trump sebagai bentuk keberanian melawan dominasi China, atau justru kesalahan strategi yang membuat ekonomi dunia tak stabil?
Tuliskan opini Anda di kolom komentar — dunia sedang memperhatikan.
baca juga: Bitcoin: Aset Digital? Membongkar 7 Mitos Paling Berbahaya Tentang Cryptocurrency Pertama Dunia
baca juga: Regulasi Cryptocurrency di Indonesia: Hal yang Wajib Diketahui Investor






0 Komentar