Xi Jinping Sindir Trump di APEC: Apakah Amerika Serikat Sedang Kehilangan Pengaruhnya di Asia-Pasifik?

 Investasi cerdas adalah kunci menuju masa depan berkualitas dengan menggabungkan pertumbuhan, perlindungan, dan keuntungan


Xi Jinping Sindir Trump di APEC: Apakah Amerika Serikat Sedang Kehilangan Pengaruhnya di Asia-Pasifik?

Meta Description: Presiden Xi Jinping melontarkan sindiran keras kepada Trump yang absen di KTT APEC 2025. Apakah ini tanda Amerika kehilangan hegemoni ekonomi di kawasan Asia-Pasifik? Analisis lengkap tentang perang dagang, strategi China, dan masa depan ekonomi global.


Pendahuluan: Ketika Kursi Kosong Berbicara Lebih Keras dari Pidato

Dunia menyaksikan momen simbolis yang menggelegar di Gyeongju, Korea Selatan, pada 31 Oktober 2025. Presiden China Xi Jinping berdiri di podium Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC, melontarkan pesan yang terdengar seperti diplomasi halus namun sarat makna politik: "Semakin besar badai, semakin penting kita berdiri bersama." Sementara itu, kursi yang seharusnya diisi oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump—kosong melompong.

Absennya Trump dari forum yang mewakili lebih dari setengah perdagangan dunia ini bukan sekadar keputusan logistik. Ini adalah pernyataan politik yang berisiko mengguncang tatanan ekonomi global yang selama puluhan tahun didominasi oleh Washington. Pertanyaannya kini: apakah Amerika Serikat sedang melepaskan kendali atas kawasan Asia-Pasifik yang menjadi motor pertumbuhan ekonomi abad ke-21?

Ketegangan perdagangan antara dua raksasa ekonomi ini bukan hal baru. Namun, cara Xi memanfaatkan momentum ini untuk memposisikan China sebagai "penyelamat" perdagangan bebas global menunjukkan pergeseran kekuatan yang tak bisa diabaikan. Artikel ini akan membedah strategi politik di balik sindiran Xi, implikasi absennya Trump, dan bagaimana perang dagang ini membentuk ulang peta ekonomi dunia.

Sindiran Diplomatik yang Menggetarkan: Membaca Bahasa Tubuh Politik Global

Xi Jinping dikenal sebagai pemimpin yang jarang berbicara blak-blakan di forum internasional. Namun, pidatonya di APEC kali ini berbeda. Frasa "bersatu menghadapi badai" yang ia lontarkan bukan sekadar metafora cuaca—ini adalah kritik tajam terhadap kebijakan proteksionisme Amerika Serikat yang dianggap memicu ketidakstabilan ekonomi global.

Menurut laporan The Associated Press, Xi dengan tegas menyerukan agar rantai pasok global tetap stabil, sebuah tanggapan langsung terhadap upaya Washington yang berusaha memisahkan jalur produksinya dari China melalui kebijakan "decoupling" atau "de-risking". Kebijakan ini, yang dimulai sejak era Trump pertama dan dilanjutkan oleh pemerintahan Biden, bertujuan mengurangi ketergantungan AS terhadap manufaktur China—terutama di sektor teknologi tinggi, semikonduktor, dan energi terbarukan.

Namun, apakah strategi ini benar-benar efektif? Data dari International Monetary Fund (IMF) menunjukkan bahwa perdagangan China dengan negara-negara ASEAN justru meningkat 18% dalam dua tahun terakhir, mengkompensasi penurunan ekspor ke AS. China tidak hanya bertahan—mereka beradaptasi dan bahkan memperkuat posisi mereka di kawasan.

"Sindiran Xi bukan tentang Trump secara personal," kata Dr. Margaret Chen, pakar hubungan internasional dari National University of Singapore. "Ini tentang membentuk narasi bahwa China adalah pemimpin yang dapat diandalkan, sementara AS terlihat tidak konsisten dan tidak dapat diprediksi."

Trump Absen, China Menang: Strategi Diplomasi Melalui Kehadiran

Keputusan Trump untuk meninggalkan Korea Selatan sehari sebelum KTT dimulai menciptakan kekosongan diplomatik yang dengan cerdik diisi oleh Xi Jinping. Sementara Trump mengklaim pertemuannya dengan Xi sebelumnya sebagai "keberhasilan besar"—di mana AS berjanji memangkas tarif untuk produk China dan Beijing sepakat membuka ekspor mineral langka serta membeli kedelai Amerika—absennya ia dari forum multilateral mengirimkan pesan yang bertentangan.

Apakah ini menunjukkan bahwa Trump lebih mementingkan kesepakatan bilateral dibandingkan diplomasi multilateral? Atau ini adalah strategi sengaja untuk menghindari konfrontasi langsung dengan Xi di hadapan 21 negara anggota APEC?

Faktanya, kehadiran fisik dalam diplomasi internasional sangat penting. Ketika seorang pemimpin negara absen dari forum besar seperti APEC, pesan yang tersampaikan adalah: "Kawasan ini bukan prioritas kami." Dan dalam vacuum politik seperti ini, China dengan senang hati mengambil alih panggung.

Xi tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Selain pidato utamanya, ia dijadwalkan bertemu secara bilateral dengan Presiden Korea Selatan Lee Jae Myung dan Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi—dua sekutu tradisional Amerika Serikat. Ini adalah diplomasi ofensif yang agresif namun terukur.

"Xi sedang melakukan soft power offensive," ungkap Professor James Wong dari Georgetown University. "Dia tidak hanya bicara soal perdagangan—dia menawarkan visi alternatif tentang tatanan dunia di mana China, bukan AS, yang menjadi penjaga stabilitas."

Perang Tarif yang Tak Pernah Berakhir: Siapa Sebenarnya yang Menang?

Sejak 2018, perang dagang AS-China telah mengubah lanskap ekonomi global. Trump memulai dengan tarif 25% untuk $250 miliar produk China, dan Beijing membalas dengan tarif serupa untuk produk Amerika. Pemerintahan Biden melanjutkan kebijakan ini bahkan dengan pendekatan yang lebih terstruktur melalui aliansi dengan Uni Eropa dan negara-negara Quad (AS, Jepang, India, Australia).

Namun, data ekonomi menunjukkan gambaran yang lebih kompleks. Menurut US Census Bureau, defisit perdagangan AS dengan China memang turun dari $419 miliar pada 2018 menjadi $279 miliar pada 2024. Namun, defisit total perdagangan AS justru meningkat karena impor beralih ke Vietnam, Meksiko, dan negara lain—yang ironisnya sering kali masih menggunakan komponen dari China.

Di sisi lain, ekonomi China juga tidak kebal terhadap dampak perang dagang. Pertumbuhan ekonomi mereka melambat dari rata-rata 6,7% (2015-2018) menjadi 4,8% (2019-2024). Namun, Beijing merespons dengan strategi jangka panjang: Belt and Road Initiative (BRI) diperluas, investasi di teknologi hijau ditingkatkan, dan kemitraan dengan Global South diperdalam.

Jadi, siapa yang menang? Jawabannya: tidak ada yang benar-benar menang dalam perang dagang. Konsumen AS membayar lebih mahal, perusahaan China kehilangan pasar, dan rantai pasok global terganggu. Yang paling diuntungkan justru negara-negara ketiga yang menjadi alternatif produksi—seperti Vietnam, India, dan Meksiko.

ASEAN Terjepit: Antara Washington dan Beijing

Ketegangan AS-China menempatkan negara-negara ASEAN dalam posisi dilematis. Di satu sisi, mereka memiliki kepentingan ekonomi yang dalam dengan China—perdagangan kawasan ASEAN dengan China mencapai $975 miliar pada 2024, melampaui perdagangan dengan AS yang hanya $548 miliar. Di sisi lain, banyak negara ASEAN masih mengandalkan keamanan dan aliansi militer dengan Washington, terutama menghadapi ekspansi China di Laut China Selatan.

Indonesia, sebagai pemimpin de facto ASEAN, mencoba memainkan peran seimbang. Presiden Indonesia telah menekankan pentingnya "tidak memilih kubu" dan mendorong kerja sama ekonomi yang inklusif. Namun, seberapa lama posisi netral ini bisa dipertahankan ketika tekanan dari kedua raksasa terus meningkat?

"ASEAN berada di titik kritis," kata Ambassador Rizal Sukma, mantan Duta Besar Indonesia untuk Inggris. "Kami harus cerdas menavigasi rivalitas ini tanpa kehilangan kepentingan nasional masing-masing negara."

Tuan rumah APEC kali ini, Korea Selatan, juga menghadapi tantangan serupa. Presiden Lee Jae Myung dalam pidato pembukaannya menyerukan solidaritas regional dan menegaskan bahwa "perbedaan kepentingan tak seharusnya menghalangi tujuan bersama menuju kemakmuran." Namun, kata-kata diplomatis ini tidak bisa menyembunyikan realitas bahwa Seoul juga terjepit antara aliansi keamanan dengan Washington dan ketergantungan ekonomi terhadap Beijing.

Energi Hijau dan Teknologi Bersih: Medan Pertempuran Baru

Salah satu agenda yang diangkat Xi di APEC adalah kerja sama energi hijau dan teknologi bersih. Ini bukan kebetulan. China saat ini mendominasi rantai pasok energi terbarukan global—menguasai 70% produksi panel surya, 60% turbin angin, dan hampir 80% produksi baterai lithium-ion.

Amerika Serikat, melalui Inflation Reduction Act (IRA), mencoba mengejar ketertinggalan dengan subsidi besar-besaran untuk industri hijau domestik. Namun, infrastruktur dan ekosistem manufaktur China sudah terlalu maju untuk dikejar dalam waktu dekat.

"Transisi energi global akan menentukan siapa yang menjadi superpower abad ini," ungkap Dr. Elena Rodriguez, ekonom energi dari Columbia University. "China sudah membangun keunggulan kompetitif yang sulit ditandingi—bukan hanya dalam produksi, tetapi juga dalam riset dan pengembangan."

Apakah ini berarti AS kalah dalam pertarungan teknologi hijau? Belum tentu. Amerika masih memiliki keunggulan dalam inovasi teknologi tingkat tinggi, desain chip canggih, dan ekosistem startup yang dinamis. Namun, tanpa strategi industri yang koheren dan investasi jangka panjang, keunggulan ini bisa tergerus.

Multilateralisme vs. Bilateralisme: Dua Visi Tatanan Dunia

Kontroversi di APEC ini sebenarnya mencerminkan perdebatan yang lebih besar: bagaimana masa depan tatanan ekonomi global seharusnya dibentuk?

China, di bawah kepemimpinan Xi, mempromosikan multilateralisme—sistem di mana negara-negara berkolaborasi melalui institusi internasional dan kesepakatan bersama. Visi ini terlihat dalam dukungan China terhadap WTO, Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), dan berbagai forum multilateral lainnya.

Sebaliknya, Trump dan sebagian elite politik Amerika cenderung ke arah bilateralisme dan unilateralisme—kesepakatan satu-satu yang dianggap lebih menguntungkan AS dan memberikan leverage politik yang lebih besar.

Mana yang lebih baik? Tergantung dari perspektif mana kita melihatnya. Multilateralisme menawarkan stabilitas dan prediktabilitas, tetapi sering kali lambat dan birokratis. Bilateralisme lebih fleksibel dan cepat, tetapi bisa menciptakan ketidaksetaraan dan ketidakpastian.

Yang jelas, absennya Trump dari APEC memberikan kemenangan simbolis bagi narasi multilateralisme ala China—setidaknya untuk saat ini.

Implikasi bagi Indonesia dan Kawasan: Peluang di Tengah Ketegangan

Bagi Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, persaingan AS-China sebenarnya membuka peluang. Kedua negara adidaya ini sedang berlomba mendapatkan dukungan dan influence di Global South, yang berarti lebih banyak investasi, transfer teknologi, dan akses pasar.

Indonesia, dengan populasi 280 juta dan ekonomi terbesar di ASEAN, berada dalam posisi strategis. Jakarta bisa memanfaatkan rivalitas ini untuk mendapatkan konsesi lebih baik dalam negosiasi perdagangan, teknologi, dan investasi infrastruktur.

Namun, ini juga membutuhkan diplomasi yang cerdas dan konsisten. Indonesia harus mampu menjaga hubungan baik dengan kedua pihak tanpa terlihat oportunistik atau tidak dapat dipercaya.

"Ini adalah window of opportunity yang tidak akan bertahan selamanya," kata Dr. Yose Rizal, ekonom dari CSIS Indonesia. "Indonesia harus memanfaatkan momentum ini untuk mempercepat industrialisasi dan naik kelas dalam value chain global."

Kesimpulan: Badai Belum Berakhir, Pilihan Ada di Tangan Kita

Sindiran Xi Jinping kepada Trump di APEC bukan sekadar drama diplomatik—ini adalah refleksi dari pergeseran tektonik dalam tatanan ekonomi dan politik global. Amerika Serikat, yang selama puluhan tahun menjadi hegemon tunggal, kini menghadapi tantangan serius dari China yang semakin percaya diri dan assertive.

Absennya Trump dari forum multilateral terpenting di kawasan Asia-Pasifik mengirimkan sinyal yang mengkhawatirkan: apakah Washington masih berkomitmen pada kawasan yang akan menentukan masa depan ekonomi global abad ke-21?

Sementara itu, Xi Jinping dengan cerdas memanfaatkan kekosongan ini untuk memperkuat posisi China sebagai pemimpin alternatif—yang menawarkan stabilitas, kerja sama, dan visi jangka panjang.

Bagi negara-negara seperti Indonesia dan ASEAN, ini adalah momen kritis untuk menentukan posisi. Apakah kita akan terjepit dalam rivalitas dua raksasa, atau justru menggunakan momentum ini untuk kepentingan nasional?

Badai yang disebutkan Xi belum mereda. Malah, mungkin baru akan dimulai. Pertanyaannya: apakah kita siap menghadapinya? Dan yang lebih penting—apakah kita cukup cerdas untuk tidak hanyut dalam pusaran konflik yang bukan milik kita?

Kini giliran Anda: Menurut Anda, haruskah Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya memilih satu kubu dalam persaingan AS-China, atau tetap mempertahankan posisi netral? Bagaimana cara terbaik memanfaatkan rivalitas ini untuk kepentingan nasional? Mari diskusikan di kolom komentar.




Strategi ini mencerminkan tren investasi modern yang aman dan berkelanjutan, Dengan pendekatan futuristik, investasi menjadi solusi tepat untuk membangun stabilitas finansial jangka panjang


Bitcoin adalah Aset Digital atau Agama Baru Membongkar 7 Mitos Paling Berbahaya Tentang Cryptocurrency Pertama Dunia

baca juga: Bitcoin: Aset Digital? Membongkar 7 Mitos Paling Berbahaya Tentang Cryptocurrency Pertama Dunia

Tips Psikologis untuk Menabung Crypto.

baca juga: Cara memahami aspek psikologis dalam investasi kripto dan bagaimana membangun strategi yang kuat untuk menabung dalam jangka panjang

Cara mulai investasi dengan modal kecil untuk pemula di tahun 2024, tips aman bagi pemula, dan platform online terbaik untuk investasi, ciri ciri saham untuk investasi terbaik bagi pemula

baca juga: Cara mulai investasi dengan modal kecil untuk pemula di tahun 2024, tips aman bagi pemula, dan platform online terbaik untuk investasi, ciri ciri saham untuk investasi terbaik bagi pemula

Regulasi Cryptocurrency di Indonesia: Hal yang Wajib Diketahui Investor

baca juga: Regulasi Cryptocurrency di Indonesia: Hal yang Wajib Diketahui Investor

0 Komentar